pini Kita (Halla Puspita Yuri, Tri Sania, Sela Masela Gusman). Ini opini kita, mana opini kamu?

Senin, 20 Februari 2017

Berbeda Itu Anugerah Atau Malapetaka?

Oleh: Sela Marsela Gusman
Editor: Halla Puspita Yuri

Indonesia adalah negara yang besar, luas, dan terdiri dari berbagai suku bangsa, ras,
agama, dan bahasa. Meski memiliki banyak perbedaan, Indonesia diyakini tetap menjadi
bangsa yang kuat dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sayangnya, hal ini
dirasa mulai memudar dalam benak masyarakat Indonesia, seiringnya perkembangan zaman.

Komunikasi adalah salah satu kegiatan manusia dalam menyampaikan pesan dan
menghasilkan makna antara pelaku komunikasi. Perbedaan bahasa di Indonesia
menjadi salah satu kendala untuk menginterpretasikan suatu pesan menuju mutual
understanding
(kesamaan makna). Karena pada dasarnya pola pikir seorang manusia
dihasilkan oleh Frame of Reference (pengetahuan) dan Field of Experience (pengalaman)
yang berbeda-beda. Harusnya, kendala ini bukan kali pertama dialami oleh masyarakat
Indonesia.

Sebagai salah satu contoh, seorang pelajar asal Sunda bertemu dengan pelajar asal
Jawa. Mereka berkenalan menggunakan bahasa Indonesia. Pada suatu kesempatan, pelajar
asal Jawa itu menyampaikan pesan bahwa ia tidak dapat membuka botol minuman kaleng
milik pelajar Sunda karena terlalu keras atau ‘atos’. Namun pelajar asal Sunda itu memaknai
kata ‘atos’ sebagai suatu makna yang berbeda. Kata ‘atos’ dalam bahasa Sunda memiliki arti ‘sudah’. “ Kok katanya atos, tapi ini botol belum dibuka? ”. Sehingga mereka pun tidak mencapai kesamaan makna dalam pesan ‘ atos’ yang telah dikomunikasikan.

Komunikasi antar budaya menjadi salah satu cara ampuh untuk menghindari
perbedaan makna dalam penyampaian pesan. Kita mempelajari budaya dan bahasa mereka,
begitu juga sebaliknya. Saling membanggakan adalah kunci dalam kedamaian suatu
perbedaan di Indonesia. Maka dari itu, diperlukan toleransi yang tinggi terutama persoalan
bahasa, budaya, dan agama karena perbedaan itu menjadi bagian sensitif untuk memicu
konflik.

Etnosentrisme adalah salah satu musuh besar sekaligus sahabat terbaik untuk
membangun bangsa yang memiliki semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ ini. Mengapa?
Penempatan yang tepat justru membuat etnosentrisme menjadi kunci untuk membangun
bangsa dengan perbedaan yang dimiliki. Sebaliknya, apabila kita salah menempatkan
etnosentrisme pada identitas bangsa Indonesia, maka akan berujung pada konflik dan
bukannya berkembang.

Etnosentrisme itu sendiri terdiri dari dua bagian. Pertama, etnosentrisme flexibel
adalah cara pandang seseorang terhadap suatu realitas dan aktivitas berdasarkan perspektif
budaya yang dimilikinya, namun secara tepat dan cerdas menerima realitas dan pola perilaku
orang lain berdasarkan budaya yang dimiliki orang lain itu.

Kedua, etnosentrisme inflexible adalah cara pandang seseorang terhadap suatu realitas
dan aktivitas berdasarkan perspektif kebenaran menurut budaya yang dimilikinya, namun
tidak mampu memahami realitas dan pola perilaku orang lain berdasarkan budaya yang
dimiliki orang lain tersebut. Etnosentrisme inflexible ini yang dapat mengantarkan kita pada
konflik di negara Indonesia.

Bayangkan, apa yang terjadi bila suku Batak dan suku Sunda tidak menjunjung
tinggi toleransi? Bisa jadi mereka akan memiliki intensitas konflik yang tinggi, dimana pola
perilaku suku Sunda dianggap lemah dan lamban oleh suku Batak. Sementara itu, suku Sunda
memandang suku Batak sebagai pola perilaku yang kasar dan tidak sopan.

Berbeda jika suku Batak dan suku Sunda saling memiliki toleransi. Indonesia dapat
dibangun dari pribadi yang tegas dan bekerja keras seperti suku Batak, namun tetap bertutur
kata lembut dan rendah hati seperti suku Sunda. Kombinasi ini dapat dipadukan dari
komunikasi antar budaya yang menghasilkan suatu sikap positif yang berpotensi untuk
membangun bangsa Indonesia ke arah lebih baik. Namun, ini hanya sebagian contoh atas
indahnya membangun bangsa dengan perbedaan yang berlandaskan toleransi.

Jika kita terus menerapkan etnosentrisme flexible maka kita dapat menghindari
konflik karena perbedaan yang kerap kali terjadi di Indonesia belakangan ini. Pepatah
mengatakan bahwa untuk dipahami kita perlu memahami orang lain. Membangun bangsa
tidak selalu dengan perubahan besar yang terkadang hanya bersemangat di awal saja. Segala
sesuatu butuh proses yang perlahan-lahan dan tak jadi masalah, asalkan memiliki konsistensi
toleransi dan berkembang untuk komunikasi antar budaya sehingga akan menjadi suatu
kebiasaan yang membudaya.

Terkadang bersama-sama membangun Indonesia meski berbeda asal usul daerah lebih
indah dan menyenangkan dibanding sendirian dan egois pada pendapat sendiri dengan tingkat
kebenaran masih relatif.

Perbedaan Indonesia diibaratkan sebagai warna-warni pelangi, dimana keindahannya
terletak oleh banyaknya perbedaan warna. Sorakan ramai saat mendukung sepak bola tanah
air yang maju ke babak final lebih menyenangkan, bukan? Dibanding dengan adu perang
mengunggah status di twitter (salah satu media sosial di zaman modern) sebagai suatu
umpatan karena tidak mau menerima perbedaan budaya, ras, bahasa, atau agama karena yang
ada di Indonesia? Percayalah jika perbedaan yang Indonesia miliki bukan bibit konflik
melainkan bibit unggul untuk berkembang dan terus maju, sesuai pepatah “ Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh! ”.

Jika perbedaan itu pada akhirnya kembali menjadi konflik, maka ada dua hal harus
kita lakukan: Saling membenahi diri, agar kita dapat belajar dari kesalahan dan terus bersatu
dalam kesatuan. Saling memberi toleransi dan melakukan musyawarah untuk
menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang berbeda di Indonesia dengan penuh rasa
kedamaian. Indonesia akan mampu terus berkembang, tanpa menimbulkan masalah yang
sama dan tidak lagi membuang waktu sia-sia karena waktu yang tersisa harus digunakan
untuk membangun bangsa dengan mencintai budaya sendiri. (SMG/HPY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar